MEMBUNUH IMPIAN



Penulis : Alike Mulyadi
TANGANNYA menjinjing kotak semir, sambil mengusap peluh dikeningnya, dia datang menghampiriku dan menawarkan jasa semir sepatu;
"Om semir Om, seribu perak!"
Aku tersenyum melihatnya kala itu, sepatuku memang kulit tapi bahannya terbuat dari kulit no buck; yang jelas butuh semir khusus untuk merawatnya. Aku tak ingin membuat dia kecewa, aku suka dengan bocah yang rajin bekerja dan tentu saja aku prihatin dengan keadaannya saat itu.
"Adik kecil sepatuku tak perlu disemir, kamu duduk  dan bercakap sebentar dengan aku ntar aku kasih 5.000 perak! mau?"
Dia melongo menatapku, entah karena tak percaya atau karena khawatir aku punya niat buruk. Kereta yang kami tumpangi masih melaju, para pedagang sibuk menawarkan dagangannya, para pengamen mulai bergerak dari gerbong ke gerbong.
Entah mengapa aku begitu suka naik kereta, kadang tanpa tujuan sekedar menghabiskan waktu liburan sambil melihat kehidupan langsung masyarakat luas.
Sudah beberapa tahun ini aku tinggal di Australia. Di sana yang namanya kereta api sungguh jauh berbeda dengan Indonesia, baik kebersihan maupun tarifnya. Di Australia kita bisa membeli tiket di otomate. Banyak pilihan yang bisa dipilih, misalnya satu tiket single untuk satu hari penuh, untuk tiga hari, ataupun bisa juga partner tiket untuk satu hari atau tiga hari, kita bisa keliling kota dengan satu tiket sampai seharian penuh, ada tiket kusus untuk dalam kota, luar kota dan untuk antar kota.
"Om nggak bercanda?" Suara anak kecil menyadarkan aku dari lamunanku.
"Tentu nggak, tapi aku mau kamu cerita ke Om. Aku ajukan pertanyaan dan kamu harus menjawabnya, ntar kalo kelamaan aku kasih tips lagi". Dia masih melongo, lalu aku rogoh 5 ribuan dan aku berikan padanya. Tangan kecilnya yang kotor karena semir menerima uang itu dan mengucap " 'Makasih Om ! Om mau tanya apa? ".
Dia duduk di sebelahku. Kemudian aku belikan dia nasi bungkus dan teh botol, aku juga ikut beli dan makan nasi bungkus itu, lalu mulailah aku melontarkan pertanyaan padanya.

**
       BANYAK sekali cerita dari mulut kecilnya. Mulai dari kisah pilu keluarganya yang serba kekurangan hingga himpitan ekonomi di tengah krisis politik dan ekonomi yang terus menghantam Indonesia.
Aku tanyakan tentang sekolahnya. Dia mengeluh, teramat sulit bagi dia membagi waktu antara kerja dan sekolah, padahal niat dan keinginannya untuk sekolah sangat kuat.
Dijalanan katanya, terlalu banyak pengalaman-pengalaman buruk yang menimpanya. Demi sesuap nasi dan demi membantu ibu yang ditinggal pergi bapak, dia kadang semalaman tidak pulang ke rumah.
                Tidur di stasiun kereta api adalah hal yang biasa baginya. Dia pernah mencoba untuk merokok, katanya saat itu, dia merasa jadi 'hebat' karena ada asap rokok keluar dari mulutnya. Aku sempat tersenyum mendengar penuturan polosnya, tapi kemudian dia berhenti belajar merokok "Dimarahi sama Mak, katanya pemborosan !"
                Aku tersenyum mendengarnya. Pemborosan!? bukan itu saja adik kecil, tapi penyakitan!
Sementara dia ngoceh ngalor ngidul, pikiranku melayang ke masa-masa SMA ku dulu. Saat itu  aku harus bepergian ke luar kota. Aku belum memiliki motor, apalagi mobil dan tentu saja aku harus naik kendaraan umum. Kereta api adalah pilihanku. Dari pengalaman itu, aku banyak bergaul dengan anak-anak jalanan yang nasibnya sungguh malang. Nasibku sendiri tidaklah luar biasa, bahkan aku harus bertarung melawan kerasnya kehidupan ini nyaris tanpa bantuan orang tua sejak aku lulus SMA, beruntung aku dibekali cukup pengetahuan dan didikan yang kuat, tradisi keluarga yang menjunjung tinggi kejujuran, moral, sopan santun dan agama.
Kira-kira 45 menit dia bercerita. Kemudian aku putuskan saja untuk menjadi orang tua asuhnya. Tidak lama berselang, akupun menemui ibunya, lalu aku utarakan niatku untuk menjadi orang tua asuhnya. Aku ingin dia bisa belajar dengan tenang, sambil bekerja, nyemir sepatu bukanlah pekerjaan hina bahkan butuh kekuatan mental, tidak semua anak atau orang dewasa sekalipun sanggup melakukannya.
                Aku atur dengan bank tempat aku menyimpan uang untuk mendebet otomatis saldo tiap bulan dalam jumlah tertentu. Tidak banyak memang, tapi lebih dari cukup untuk membiayai sekolah dasar sampai waktu yang tidak terhingga atau sampai aku memutuskan untuk menghentikan bantuan itu. Secara kebetulan direkturnya ku kenal dengan baik jadi tak begitu sukar mengatur prosesnya.
Kemudian aku memberi alamat tempat tinggalku di Australia, Dietlindenstr. 7. 0.stock Scwhabing - Munchen.
Aku ingin dia mengirim perkembangan kehidupannya, setidaknya satu bulan sekali. Aku berikan cukup perangko.
                Ibunya tidak bisa mengerti kenapa aku begitu baik padanya. Sejujurnya aku juga tidak menjelaskan kenapa. Begitu banyak anak jalanan di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya tapi kenapa dia? Anak lelaki kecil yang kurus, berambut kemerahan berkulit gelap terbakar matahari, kenapa? Aku juga tak habis pikir, itu semua terjadi begitu saja. Pada awal mengamatinya saat dia berkeliling menawarkan jasa semir sepatu, dia begitu gigih dan 'sedikit memaksa'. Tetapi dia sebisa mungkin membuat orang tidak terusik. Aku sempat tersenyum melihat 'bakat'nya untuk menjadi 'orang'.
                Jelas secara fisik kami bertolak belakang, kulitku putih bersih, tubuhku cukup tinggi, lebih dari 175cm, tapi kenapa aku suka dengan anak kecil itu?

**
KALA itu 2-3 tahun lalu, ketika kami berpisah, aku beri dia uang saku yang cukup. Wajahnya berseri bahagia, aku sendiri merasa bahagia. Rasa bahagia itu sungguh sangat menyentuh hatiku, mungkin aku rindu anak kecil. Adik terkecilku sudah kuliah, tapi aku sendiri belum juga mempunyai anak. Mungkin itu sebabnya !
                Bulan berganti, tahun berganti, aku tak lagi menerima surat dari anak asuhku, hanya 6 bulan pertama aku tahu perkembangannya. Pada saat itu dia masih berusia 11 tahun, tentunya sekarang dia sudah jadi remaja tanggung 14 tahun !
Aku penasaran ingin melihat perkembangannya dan secara kebetulan aku harus mengunjungi Indonesia awal musim summer tahun ini. Biaya pendidikannya masih rutin aku kirim lewat bank. Tapi seperti apa dia sekarang aku tak tahu lagi. Dulu dalam surat-suratku selalu kusempatkan memberi dia wejangan tentang hidup. Mungkin dia masih terlalu kecil untuk mengerti, tapi jauh didasar hatiku aku tahu dia cukup mengerti bagaimana memahami hidup, ditambah kerasnya kehidupan sehari-hari tentunya sangat membantunya untuk cepat menjadi dewasa.
Kali ini aku naik kereta lagi. Aku parkir mobilku distasiun kereta api (KA). Kemudian aku naik KA jurusan kota. Aku sangat rindu dengan hiruk pikuknya kereta apiku, dengan berseliwerannya segala macam manusia; dengan puluhan macam bau keringat mereka.
Seperti biasa aku tidak menyukai tempat duduk. Aku lebih memilih duduk di antara gerbong melihat pemandangan, mendengar para pedagang jajanan sibuk mengatur jajanan dan menghitung recehan.
Masih cukup banyak juga para penyemir sepatu, pengamen, dan pengemis.
Pandanganku kosong melihat keluar jendela kereta, ketika mendadak aku merasakan benda dingin yang tajam menempel dipunggungku, terdengar suara pelan tapi penuh ancaman,
"Dompetnya Om ! Jangan berteriak kami lebih dari 7 orang !" Suara itu jelas bukan suara orang dewasa, tapi suara remaja tanggung! Aku ingat benar, dulu semasa aku masih suka berambut panjang lebih dari sebahu, tak seorang preman pun berani menggangguku di manapun aku berada. Tapi sekarang setelah rambutku dipotong pendek, tak ada lagi yang 'menakutkan' mereka.
Aku menoleh kebelakang, kereta berjalan dengan kencangnya. Aku lihat 5 sampai 7 remaja tanggung mengelilingi aku, aku tersenyum. Benda tajam itu semakin ditekan ke punggungku. Tapi aku tenang saja. Jika saja aku mau, dengan sekali sentak aku bisa merebut benda tajam tersebut dan menghantam balik si penodong. Tapi aku tak ingin melakukan itu.
                Aku punya pikiran lain, lalu aku berkata cukup pelan "Berapa yang kalian butuhkan?"
"Semuanya Om ! Cepat ! sebelum aku tusukkan pisau tajam ini! "
"Apakah kamu benar-benar berani?!" tantangku dengan suara yang aku tenangkan. Memang diantara gerombolan itu ada pemuda yang cukup dewasa, mungkin 24 tahunan. Dia mengawasiku dan mengawasi sekeliling.
"Crass !" pisau itu melukai sedikit punggungku, aku mengeluh kecil, tapi aku tahan rasa perih itu, itu sudah biasa ! pikirku. Lalu dengan kecepatan yang sama sekali tidak diperhitungkannya aku berbalik dan merampas pisau itu, "plak" aku sempat menampar mukanya! teman-temannya jadi panik, tapi aku berkata cukup keras
"Diam kalian! atau kalian mau mati dikeroyok penumpang lain?!"
Mereka saling pandang, gemetar !
"Antok," kataku kemudian kepada remaja tanggung yang menodongku tadi" Inikah hasil dari belajarmu? inikah balas budimu kepada orang tua asuhmu? lihat baik-baik siapa aku. Tiga tahun lalu kamu jadi tukang semir. Lalu aku membawamu pada ibumu dan membiayai sekolahmu, bukankah kamu ingin jadi pilot?!"
                Mata remaja tanggung tadi melotot menatapku, mukanya masih merah karena tamparan tanganku, pisaunya masih aku pegang.
"Om Lei?!" katanya melongo dan nyaris tak percaya dengan pandangannya.
"Ya, ini aku! dulu memang aku masih gondrong! tapi itu bukan hal yang penting. Ada apa denganmu? mana semangat hidup barumu? mana kepatuhan pada Ibu-mu? Bagaimana dengan proses belajarmu? mana surat-suratmu? rupanya kamu telah menjadi penjahat kecil, hah!"
Tubuh remaja itu semakin menggigil, kereta berjalan semakin pelan, di stasiun --> --> kereta itu harus berhenti. Mendadak teman-teman Antok berpencar kabur lari tunggang langgang, bahkan ada yang sampai lompat dari kereta ke sawah-sawah.
                Antok menunduk, lalu tiba-tiba dengan kecepatan yang tidak aku duga dia juga telah berlari dan melompat dari kereta ke sawah-sawah, kereta itu sudah tidak kencang lagi lajunya, jadi mereka bisa selamat meski pasti ada luka setelah itu.
Orang-orang menghampiri aku dan bertanya ini itu. Aku cuma angkat bahu dan aku bilang nggak tahu menahu.
                Setelah itu aku tak ketemu lagi dengan Antok. Aku sempatkan mampir ditempatnya dulu, tapi gubuk-gubuk kumuh yang dulu banyak berjejer di sepanjang stasiun telah banyak digusur.
Ternyata liburan musim panas kali ini aku harus persingkat, karena urusan bisnis aku harus balik ke Jerman.
Setelah aku confirm Jetstar airways untuk mengubah jadwal penerbangan, aku langsung balik ke Australia. Ini baiknya terbang pakai Jetstar airways kita tak perlu bayar fee untuk ganti jadwal penerbangan. Coba kalo pakai penerbangan lain.
                Ketika tiba di apartemen aku sempatkan mengecek kotak posku. Teman-teman lama dan beberapa tagihan ada di sana. Laporan dari bank dan surat-surat lain yang sudah seperti biasanya.
Mataku menatap sebuah amplop yang berperangko Indonesia. Antok nama pengirimnya!
Penasaran aku segera buka dan membaca suratnya,. Tulisan tangannya masih seperti dulu, kasar dan tidak beraturan
                "OM Lei, Antok minta maaf. Antok telah sesat. Ibu meninggal dua tahun lalu, Antok nggak tahu lagi mau hidup bagaimana. Kemudian Antok ketemu Om Abud yang mengajarkan Antok jadi penjambret dan penodong. Sebenernya waktu dulu Om saya todong, Om telah diikuti sejak dari stasiun, tapi Om nggak ngerti pergerakan kami. Jadi Om Lei sudah kami incar. Sayangnya Antok tak mengenali lagi Om Lei. Maaf Om, sekarang biarkan Antok membunuh impian Antok, biarkan nasib yang menentukan.
Sekali lagi maafkan Antok Om, semoga kita tak pernah ketemu lagi, Antok malu sekali"
                Aku termenung, satu lagi korban kerasnya kehidupan. Satu lagi ketidakberdayaan "nasib", Apalah daya si Antok kecil yang harus harus sendirian di dunia ini melawan kejamnya keserakahan manusia, dan kejamnya tantangan hidup.
Yang miskin selalu saja sulit bangkit dari kemiskinan karena tidak cukupnya 'modal' dan pengetahuan apalagi semangat untuk jadi kaya.
Sementara yang kaya tidak lagi ingat pada yang miskin, seolah kekayaan itu jaminan kebahagiaan dan kemuliaan hidup. Jangan kata sedekah, bertegur sapa dengan yang levelnya lebih rendah saja tidak mau.
Hidup ini memang kejam, egois, dan tak kenal kasihan!
Tapi apakah kita tak ingin mengubahnya? meski cuma dalam skala terkecil sekalipun?
Sekecil apapun tindakan kemanusiaan kita, akan bisa mengurangi derita yang menyengsarakan hidup orang lain.
                Ketidak pedulian kita pada si miskin adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan, pengkhianatan terhadap nurani !  
Sumber : www.annida-online.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Superheroines (Juara 3 Lomba Esai)

Membangun Peradaban Melelui Mentoring

Orang Asing (Al-Ghurabaa) Dan Nasionalisme