Kemarin Aku Mati


Penulis: Evatya Luna (Sumber :  annida-online.com)
 Kemarin aku mati. Entah amalan apa dan kebaikan yang bagaimana yang membuatku kini sampai pada beranda surga. Aku terkesima. Takjub dalam waktu cukup lama memandangi kedahsyatannya. Ketika kembali sadar ini surga, terlonjak gembira. Celingak-celinguk mencari kerabat yang kenal. Ah, tak kutemukan.
Mungkin karena mati muda, atau bisa jadi karena aku cucu ndak genah yang tak mengerti pasti silsilah apalagi wajah moyangnya. Anehnya, bisa kupandangi dunia fana yang sedikit pun tak terganggu dengan ketiadaanku. Oh yeah, who am I? hehehe
Okay, jika dunia tak peduli aku pergi, aku tak sedih. Toh sekarang aku di sini. Kukitari taman firdaus yang aduuhh…, tak mampu  dideskripsi. Tersenyum pada seluruh penghuni yang wajahnya berseri. Sekali lagi kuingatkan, ini surga, Kawan! Tak ada muram durja.
Sebagai manusia, kebahagiaan kala itu ingin kubagi. Sayangnya aku tak punya siapa-siapa untuk berbagi cerita.
“Apapun yang kau inginkan akan terkabulkan bahkan sebelum diminta,” Malaikat tiba-tiba menjelma ada.
“Akan kusiapkan bidadara untuk menemanimu,” tambahnya.
What? Bidadara? Bidadari pria maksudnya…? Dari surga pula, mantaabb…! Tapi seketika aku berubah pikiran.
“Nanti saja, aku ingin bertemu dengan orang-orang hebat yang lebih dulu mati,” ide aneh ini tak tau darimana datangnya.
“Baik, mulailah dari negerimu dulu. Lihatlah ke depan!” Perintah malaikat.
Tampak segerombol orang berbincang akrab dan seru. Jelas kelihatan mereka kaum terpelajar.
“Siapa mereka?” Suaraku yang belum beradaptasi dengan suasana beranda surga menjadi nyaring dan membuat mereka menoleh.
“Kau tak mengenal kami? Padahal kami menyatukan bangsa kita,” ucapan seorang  yang tampaknya sebagai pemimpin mereka tidak terdengar angkuh. Hanya murni menjelaskan.
“Namamu?” Tanyaku ragu, khawatir dianggap bodoh. Tapi aku benar-benar tak kenal.
“Dia Soegondo Djoyopoespito, dan aku Mohammad Yamin,” kali ini temannya yang satu lagi berbicara.
Kuperas keras otak, dan… Sumpah Pemuda! Mereka para pemuda luar biasa itu. Bersyukur nilai pelajaran IPS dulu lumayan untuk sekedar mengingat nama mereka dan segera menghubungkannya dengan sejarah.
“Maaf ya,” aku bicara malu.
“Tak apa, kami sudah mahfum seperti apa pemuda kita saat ini, anak baru,”
“Tapi kami bersatu. Kami masih memegang teguh sumpah pemuda itu,” aku mencoba menyenangkan mereka –atau membela diri?-
“Kalian tidak bermusuhan, memang iya. Itu bukan berarti kalian bersatu. Bumi kita telah menjadi kampung halaman yang luas sekarang. Jangankan antar suku bangsa, antar negara pun kalian telah merasa tak ada beda. Semua tak salah, memang sudah zamannya. Namun jawab pertanyaan kami, banggakah kau pada negara kita? seberapa besar cintamu pada Indonesia? Seberapa jauh usahamu untuk kehormatannya?”
Aku tergagap.
“Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bukan berarti kalian melupakan bahasa ibu. Berpuluh bahasa ibu di negeri kita hampir punah, padahal itu kekayaan budaya kita. Lagipula kalian membuang bahasa ibu bukan karena kalian menjunjung tinggi bahasa persatuan kan? Lebih tepat jika kalian dikatakan tak menghargai budaya bangsa. Kalian tak pandai menjaga.  Berteriak marah jika budaya kita telah diakui yang lainnya,”
“Tak semua pemuda Negeri kita sepertiku,” kali ini ucapan yang terlontar murni untuk menyenangkan mereka.
“Mayoritas sama! meski kami bersyukur masih banyak yang peduli, namun tetap kami harapkan semua pemuda memiliki gelora seperti dulu, bahkan lebih. Kalian kini jauh lebih terpelajar dari kami,”
“Bisa jadi ini salah kurikulum pendidikan,” komentarku mulai ngaco.
“Tanyakan pada lelaki di sana,” kata pemuda di sampingku menunjuk jauh ke depan. Aku menoleh mengikuti arah jarinya,
“Jangan katakan kau juga tidak tau siapa dia,” Bisik malaikat seolah mencemooh.
Come on my mind…, berpikirlah! Jangan lagi kau tak mengenalnya, batinku. Kupandangi wajah itu agak lama. Meski tampak jauh lebih muda dari gambarnya yang sering terlihat di lembar Rupiah, aku tak ragu jika beliau Ki Hajar Dewantara. Kudekati dirinya.
“Ceritakan padaku pendidikan di tanah tercinta kita, Anakku,” dia mengawali sapa tanpa basa-basi. Mengalir ceritaku tentang anggaran belanja negara yang konon seperlimanya dialokasikan bagi pendidikan, tentang iklan berseliweran yang menyatakan gratisnya pendidikan, juga tentang kenyataan berjuta bocah tak sekolah, serta fakta perampok negara justru dari mereka yang tinggi sekolah.
“Sekolah hampir lupa menanamkan budi pekerti di tiap hati. Penghargaan hanya dilihat dari prestasi, dan prestasi hanya dilihat di atas kertas. Sejak kecil kalian dididik untuk saling jegal. Kalian lupa untuk berbagi. Kalian mengira pasar adalah tempat investasi terbesar. Kewajiban pendidikan anak bangsa kalian serahkan penuh pada pemerintah. Tak pernah terpikirkan, memintarkan sekitar adalah aset kalian juga.” Kata-katanya tajam meski tak ada yang salah. Aku tau karena kata-katanya, beliau pernah melewati hukuman buang di masa Belanda.
Aku membuang pandangan jauh. Tertangkap mataku sepasang kekasih sepertinya menikmati hari. Romantis sekali.
“Mereka pahlawanmu juga,” malaikat sepertinya kini telah merangkap sebagai pemandu wisata.
“Benarkah mereka Cut Nyak Dien dan Teuku Umar suaminya?” Bisikku.
“Kemarilah, Nak,” mereka menyambut seolah tau sedang dibicarakan.
Apalagi yang akan mereka katakan, pikirku. Diri ini semakin tak bernyali menghadapinya. 
“Tak sudikah kau berbincang dengan kami?” Tanya sang suami.
“Bukan begitu, saya merasa tidak pantas ada di antara pahlawan bangsa,” kaku aku menjawab.
“Bicaralah pada kami cerita negeri kita saat ini,” pinta sang istri.
“Sudahlah adinda, itu bukan lagi urusan kita,” Teuku Umar tampak menghibur istrinya.
“Kenapa?” aku bertanya bingung.
“Sampai mati kami berjuang membela negeri. Agar anak cucu kami hidup damai, bebas berkarya, bebas beragama, bebas beribadah. Tapi kenyataannya…,” lirih dia berucap seperti pada dirinya sendiri.
“Dinda, tak ada yang sia-sia dari perjuangan. Semua di luar kuasa kita,” kembali pria berwibawa ini angkat bicara.
“Tak pernah kami sesali setetespun darah yang tercucur untuk negara kita. Tak jua kami nestapa karena ribuan nyawa terkorban untuk bangsa. Demi anak cucu. Demi tumpah darah. Tapi melihat anak cucu bertikai dengan bangsa sendiri, jauh lebih menyakitkan bagi kami! Aceh kita, kenapa begini jadinya?”
Airmataku menetes. Tak tega mendengar keresahan mereka, aku menangis sesegukan. Hei, ini kan surga, mengapa masih ada airmata ya? Entahlah, bingung juga aku.
“Sebaiknya kau kuajak pergi,” Malaikat mencoba menyudahi tangisan.
Kembali kami berjalan menyusuri tepi sungai firdaus. Tatapanku terpaku pada wajah teduh seorang pria. Tak mungkin aku tak mengenalinya,
Assalamualaikum Jendral,” kuberi dia salam dengan gaya hormat ala militer. Norak banget.
Waalaikumsalam, Nona muda,” jawab Jendral Sudirman dengan tersenyum dan mengangguk, membalas hormat yang norak itu.
“Aku sangat mengagumi dan mengenalimu,” antusias aku bicara.
“Karena patungku ada di tengah kota dan di film kesukaanmu itu?” tebaknya sambil tersenyum.
“Tak hanya itu, karena segala yang telah kau lakukan di masa hidupmu. Dan aku melihat patungmu setiap hari di kampusku, dulu.” Uraiku.
“Kau seorang sarjana?” Tanyanya.
“Tidak, tak sampai selesai,”
“Karena apa?”
“Karena sakit,” aku menjawab melas,
“Aku berjuang, melawan Inggris dan Belanda juga dalam kondisi sakit. aku berperang dengan ditandu. Sekolah hanya perlu membawa buku dan otakmu,”
“Tapi yang sakit justru otakku, organ yang kuperlukan,” kilahku.
“Saat aku melawan Belanda, aku berperang gerilya dengan paru-paruku yang hanya berfungsi satu. Apa kau kira aku tak perlu paru-paru itu untuk bernafas di tengah hutan?” katanya sambil tersenyum.
“Aku akui aku pecundang,” aku berkata pasrah.
“Hei, kenapa kau ini? Menyerah hanya karena putus kuliah? Kuingatkan padamu nona, aku meraih gelar Jendralku bukan melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya. Jangan menyerah!” Jendral idolaku mengatakan ini dengan sangat lembut namun tajam. Tapi aku sudah mati, tak ada gunanya lagi semangatmu itu, Jendral. Aku membatin.
“Kenapa kau selalu terbawa emosi?” seperti biasa malaikat mendadak ada.
“Mari kuajak menemui tokoh idolamu yang lainnya,”
“Siapa?” tanyaku.
“Lihatlah sendiri,”
Dan tiba-tiba aku sudah berada di depan Kartini.
“Izinkanku memanggilmu Guru…!” Lancang aku meminta pada wanita anggun ini.
“Menjadi Guru memang impianku hingga aku tak beryawa,” jawabnya.
“Meski seabad sudah engkau pergi, engkau tetaplah Guru kami,” yakinku.
“Padahal tidaklah banyak yang sudah kuberi untuk negeri,” beliau bergumam.
“Kau memang pahlawan sejati, tak pernah menghitung jasa dan tak pernah pamrih,” pujian tulus terlontar.
“Tidak, aku berkata yang sebenarnya. Apa yang kulakukan dulu sebatas yang aku mampu. Saat itu, kaum kita yang tersentuh hanya berkisar pada Rembang dan Jepara,”
“Tak hanya sampai di situ Guru, setelah kau tiada, surat-suratmu telah kami bukukan dan memotivasi hampir tiap wanita di negeri kita!” aku heboh menjelaskan apa yang telah terjadi.
“Aku tau itu, dan bersyukur sekali. Bukan untuk namaku yang kata penyair menjadi harum, tetapi karena keinginan terhadap kaum kita akhirnya terealisasi. Itulah keadilan Allah, Nak. Meski Dia memberiku usia hanya dua puluh lima tahun, tapi Dia kabulkan keinginanku. Dan Dia hidupkan namaku jauh lebih lama,”
“Kau memang wanita bijak guru!”
“Kaupun begitu…, meski mati muda, bisa jadi dunia menghargaimu setelah tiada. Bukan mustahil apa yang kau minta justru terpenuhi nanti.”
“Tapi aku tak memiliki seorangpun teman di Belanda. Bahkan aku tidak hobi korespondensi,” candaku. Kami tertawa bersama.
“Guru, jelaskan padaku apa itu emansipasi,”
“Kau hidup di zamannya, Nak,” ucapan terlontar dari bibir yang dihiasi senyum.
“Semua atas jasamu Guru. Dan, legakah kau melihat kemajuan kami dari sini?” aku ingin tau.
“Aku bahagia dengan keadaan yang jauh berubah. Tapi kaum kita masih tertindas meski telah jarang kita temui pengekangan dalam bentuk pelarangan pendidikan. Belenggu itu kini banyak  terpasang pada para istri yang dipaksa untuk sekuat Gatotkaca, menghidupi seluruh keluarga. Emansipasi sering salah arti dan rancu dipahami, bahkan oleh wanita sendiri. Jika perempuan yang kalian pandang hebat hanyalah perempuan yang bekerja di depan komputer dan memakai blazer, kalian picik!” urainya.
“Aku mengerti itu Guru. Tak hanya wanita kantoran. Kini banyak wanita hebat yang bekerja sebagai tukang batu, supir bus, bahkan kuli bangunan. Itu juga bentuk emansipasi.” Aku bersemangat.
“Mereka wanita perkasa, atau bisa jadi wanita yang terpaksa menjadi perkasa. Tapi belum tentu itu emansipasi. Jika kaum kita bebas memilih serta bisa mendapatkan apa yang dia inginkan tanpa adanya pelarangan karena alasan gender, itu emansipasi. Jika kaum kita mampu menempatkan diri sejajar dengan laki-laki, menatap hormat meski tak takut, itu emansipasi. Jika kaum kita sanggup menempatkan diri sesuai porsi dan tidak sudi untuk dieksploitasi, itu emansipasi. Sekarang jawablah, apa emansipasi telah terpenuhi?” pertanyaannya yang lembut namun tegas membuatku  hilang kata.
“Masih mau melihat sekitar?” malaikat menyudahi percakapan kami.
Aku tak sabar menebak akan bertamu dengan siapa lagi. Dan…
“Itu Bung Hatta,” teriakku.
“Muhammad Hatta,” ralat malaikat.
“Doktor, jika harus kujabarkan alasan mengagumi anda, tak cukup waktu rasanya,” aku langsung sok kenal. Mungkin karena mulai terbiasa bertemu orang hebat sejak tadi. Beliau tersenyum menanggapi.
“Keberanianmu membubuhkan tanda tangan proklamasi bukan tanpa resiko. Pantas jika sejarah kita mencatatnya sampai akhir dunia. Bagi kami, proklamasi adalah hadiah terbesar dari anda berdua. Orasimu di 10-November dulu mampu menggerakkan Surabaya untuk memerahkan sungainya dengan darah mereka. Tak hanya meraih kemerdekaan, tapi anda juga menjadi penjaganya di garda depan,” Aku seolah berorasi di depan seorang orator terbaik. Bodoh sekali.
“Bagiku proklamasi adalah ungkapan paling lantang akan semangat besar untuk hidup sebagai bangsa yang terhormat. Besar harapanku agar anak cucu menjaga kehormatan itu. Kami merebut tanah kita dari penjajah bukan untuk diwariskan pada satu dua kepala. Kami bermimpi semua rakyat mencicipi bumi kita yang kaya,” Kalimatnya terdengar berapi-api.
“Apa kau juga melihat tingkat korupsi penghuni negeri kita dari sini?” rasa penasaran mengalahkan sungkan untuk bertanya.
“Aku tau. Tak heran aku melihat penjajah menghisap bumi kita seperti lintah. Namun tak habis pikiranku melihat rakyat kita mengikuti jejak mereka. mencuri di negeri sendiri,”
“Menyesalkah kau dengan Proklamasimu?”
“Terlalu jika kau tanyakan itu, Nona. Bagiku proklamasi adalah menyelamatkan harga diri bangsa kita. Membentuknya hingga kita patut berbangga. Dan jika pejabat negeri berkorupsi, mereka  memporak porandakan harga diri yang sudah jadi,”
Aku diam tak berani angkat bicara.
“Masih kuingat, hingga hembusan nafas terakhir, aku masih menyimpan sobekan iklan sepatu merk Bally di koran. Tak terbeli sepatu itu olehku, Sang Proklamator, mantan Wakil Presiden. Namun sampai nyawa tiada, harga diri dan kehormatanku tak mati oleh korupsi!”
Pantaslah kau mendapat surga, bung! Pikirku. Mungkinkah akan ke sini juga para penerusmu, pemegang tongkat estafet bangsa?
“Saatnya kau kembali,” malaikat menimpali,
“Kembali? Kemana? Bukankah ini kehidupan yang abadi?” Ucapanku lebih terdengar sebagai sebuah protes daripada  pertanyaan.
“Kau kira kau sedang berada di mana, heh?” Malaikat terlihat mulai kesal.
“Jelas ini surga!” aku tak kalah kesalnya,
Hahaha… Dasar pemimpi. Kau sedang berada di alam mimpimu. Kau kira kau siapa bisa melenggang ke surga dengan mudahnya? Amalan apa yang telah kau lakukan di dunia kawan…?” Malaikat melecehkan ditengah tawanya yang terkekeh.
Aku ternganga. Melihat malaikat memiliki selera humor, membuatku mulai yakin jika ini memang hanyalah mimpi.
“Aku terlanjur betah di sini, aku tak mau kembali,” rengekku, berharap rengekan itu mampu mengubah kondisi.
“Tak ada yang tak betah di sini,” Tegasnya.
Meski sedikit kecewa karena urung bermukim di surga –atau tertunda?- aku tak menyesalinya. Masih besar harapan untuk tetap hidup dan menjadi saksi sejarah, melihat negara tak hanya merdeka, namun sampai pada puncak kejayaannya. Semoga!
~*~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BEGINILAH MEREKA MENGHANCURKAN KITA

Metode-Metode Menghafalkan

Tips Sukses hadapi UTS