Palestine… Emang [Amira] Pikirin



Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Oleh   Yuherina Gusman
Amira membanting pintu kamar dengan geram, menghempaskan langkahnya dengan sekuat tenaga sebelum akhirnya menghamburkan badannya ke tempat tidur dan menangis sepuas-puasnya di sana. Angle, teman sekamarnya asal Vietnam hanya bisa bingung, namun tak kuasa bertanya, “ada apa?”. Tanggis itu tak juga reda, ketika sore telah tergantikan malam. Amira mulai beranjak ke meja belajarnya, membuka laptop putih mungilnya dan mulai menuangkan segala rasa yang menganggu beban pikirannya di sebuah software diary yang memang sengaja diinstallnya beberapa waktu yang lalu. Menulis… merupakan salah satu terapi bagi gadis yang tak banyak bicara ini. Apalagi semenjak kehadirannya di bumi Formosa sebagai salah seorang mahasiswi disebuah kampus ternama, menjadikannya semakin larut dalam kesendirian. Bukan tidak ada teman untuk berbagi, namun terkadang mereka juga terlalu sibuk dengan seabrek aktivitasnya. Maka, melalui tulisanlah semua idenya mengalir, semua kebisuannya tersuarakan, semua kesedihan terkikis dan semua tawa terekap rapi menjadi memori untuk dikenang nanti.
Isak tangisnya masih tersisa, yang sesekali derai airmatanya kembali membanjir, ketika adegan demi adegan suasana di kelas tadi kembali hadir dimemorinya.
“Bangsa Philistines itu bangsa yang kotor… tak beradab…” kalimat itu terus terngiang di telinganya, dari sebuah potongan film yang ia tonton bersama di kelas tadi. Scene yang terus menerus diulang dan didiskusikan dengan hangat di kelas. Sebuah kelas yang dia ikuti dengan alasan coba-coba, iseng… Kuliah kok coba-coba! Ini pun karena pengaruh seorang sineas muslim muda dari Indonesia, yang karya-karyanya selalu menjadi best seller baik berupa buku maupun film, dan juga kabarnya sudah merambah dunia persinetronan. Dalam diskusi singkatnya ketika ditugasi menjadi pendamping sineas tersebut, minat untuk mempelajari dunia perfilman tumbuh dalam jiwa Amira. Karena Indonesia butuh orang berilmu dan bermoral jika ingin mengadakan perubahan dalam industri perfilman dan sinetron Indonesia yang benar-benar telah terjerat dalam surga kapitalis. Jiwa Amira merasa tertantang dan memutuskan untuk mengambil kelas film. Kelas yang membuat dirinya seringkali terpojok dan lebih parahnya lagi, membuat dirinya tak berdaya dan tak berkutik. Seperti kelas siang tadi… ketika bangsa Palestina di caci-dimaki-dan dihujat… Awalnya memang membahas bangsa Philistine, penduduk asli yang menaungi daerah tersebut yang dikalahkan Nabi Musa dalam pertempurannya melawan Goliath. Namun entah bagaimana bermula, diskusi tersebut merembet kekonflik Israel – Palestina, yang tentu saja menyalahkan masyarakat Palestina –saat ini– yang “berebut” tanah dengan Israel. Amira hanya bisa DIAM. Hatinya bergemuruh, jiwanya memberontak, namun tidak ada satu kalimat pun yang meluncur dari mulutnya. Dia hanya bisa berdoa agar waktu cepat berlalu dan kelas tersebut cepat berakhir. Tidak ada yang menangkap keresahannya, karena memang negara sekuler seperti Taiwan tidak begitu paham dengan keanekaragaman beragama, apalagi konflik-konflik yang berkembang didalamnya. Ditambah lagi dengan kiblat berita mereka yang kurang pro-Islam.  Ingin sekali Amira membalas semua tudingan-tudingan tersebut namun tidak tahu… BAGAIMANA.
***
Siang yang mendung, suhu menunjukkan angka 17 derajat celcius. Mungkin tidak jauh beda dengan suhu di Lembang sana, namun jangan banyangkan bagaimana dinginnya. Dengan kelembaban yang hampir 73% membuat angin di Taiwan benar-benar menusuk tulang. Banyak makhluk tropis yang mengeluhkan udara yang dingin tersebut. Pun Amira, yang sebenarnya juga punya hobi tidur. Apalagi semenjak mendedikasikan diri sebagai mahasiswa master, mau tidak mau jatah tidurnya terpotong banyak. Dan setiap week-end selayaknya menjadi surga bagi para mahasiswa untuk sedikit menikmati waktu luang, atau menambah jadwal tidur. Namun aturan tidak tertulis tersebut tidak berlaku bagi Amira. Dia harus berangkat ke mesjid, membawa dua tas buku yang selama ini menjadi perpustakaan keliling. Setiap bulan pada minggu ketiga, organisasi pekerja asal Indonesia mengadakan pengajian di wilayah Longkang, dan Amira bertugas membawa buku koleksi dari para mahasiswa untuk dipinjamkan kepada rekan-rekan pekerja. Bukan tugas yang mudah memang, apalagi ketika rasa malas membisikkan dengan lembut, “sudah.. bolos saja… tidur lebih enak…”. Untungnya perjalanan dari kampus ke mesjid cukup jauh, dengan menaiki bus dan transit sebanyak satu kali, Amira memiliki waktu selama satu jam untuk tidur di bus. Win-win solution.
Walau musim dingin hampir mencapai puncaknya, tidak sedikitpun melunturkan semangat para pekerja untuk mengikuti pengajian di mesjid. Rasa lelah dan malas Amira meluap ketika menghadapi antusias para pekerja menyerbu buku-buku bawaannya. Sebagian mengembalikan buku yang mereka pinjam bulan sebelumnya dan sebagian lagi meminjam buku yang dikembalikan tersebut atau mengoprek-oprek koleksi yang ada. “Mbak ini bagus nggak?” Mbak Tutus, kutu buku dari kalangan teman pekerja mengangkat sebuah buku. “Palestine Emang Gue Pikiran!” Amira membaca dengan keras judul buku yang ditanyakan si mbak tersebut. “Eh… bentar mbak…” diraihnya buku tersebut dan menemukan nama Sofwan Al Banna sebagai penulisnya. Buku terbitan Pro-U Media yang menjadi best seller di awal terbitnya. “Bagus mbak… bagus banget… tapi aku yang baca dulu yah….” ujar Amira kemudian dan segera menyimpan buku tersebut ke dalam tas nya. Mbak Tutus hanya bisa pasrah dan atas usulan Amira meminjam buku yang lain saja.
***
“Ini dia!!!” berkali-kali Amira mengucapkan kalimat tersebut dalam hatinya sepanjang perjalanan pulang dari mesjid. Buku yang selama ini dicari-carinya! Sebelumnya Amira sudah pernah membaca buku tersebut, dan acap kali mengikuti berbagai diskusi yang mengupas buku yang ditulis dengan kocak namun begitu dinamis dan sarat informasi itu. Bahkan beberapa kali dia pernah bertemu langsung dengan penulis bukunya. Namun namanya saja memori manusia, banyak data penting yang disajikan buku itu tidak di ingatnya dengan baik. Makanya dia juga tidak berani beragumen di kelas pada waktu itu, karena khawatir argumennya hanya akan menjadi wujud kemarahan saja tanpa didukung dengan data akurat dan argumen yang ilmiah.
Dalam satu malam saja, buku yang disusun dengan cara yang unik namun agak “repot”  berhasil dibaca ulang sampai tuntas. Bak  prajurit yang baru saja dibekali amunisi, semangat Amira terbakar bergelora. Serangkaian ide tersusun dibenaknya. Tidak ada kata terlambat untuk menyampaikan kebenaran! Ditemani lantunan merdu Maher Zain dalam album Thank You Allah-nya, belasan slide berhasil di tuntaskan. We [can not] forget to teach our children about history and honor….[1]
***
“What happened to our human rights?
What happened to the sanctity of life?
And all those other lies?”
Potongan lirik lagu Maher Zain, Palestine Will be Free menjadi kalimat pembuka pada slide yang disajikan dihadapan sepuluh orang teman sekelas dan seorang professor. Pagi itu merupakan jadwal bagi semua murid untuk mempresentasikan outline final paper mereka yang akan dikumpulkan pada akhir semester nanti, sebagai pengganti ujian akhir semester. Serangkain teori mengenai pergerakan kamera, genre, musik, landscape dan hal-hal lainnya terkait dengan pembuatan film yang telah dipelajari selama hampir satu semester harus dituangkan dalam tulisan sepanjang 15 halaman. Dan pemaparan outline tersebut merupakan wadah untuk menilai rencana tulisan para siswa layak untuk diwujudkan menjadi sebuah tulisan atau tidak, selain membuka peluang sebesar-besarnya bagi seisi kelas untuk memberikan pandangan dan masukan.
Ideology, menjadi tema yang di usung Amira dalam membahas sebuah film berjudul Paradise Now. Sebuah film garapan Hany Abu Asad yang membahas tentang seorang pemuda pelaku bom bunuh diri asal Palestina dan telah di tayangkan di 41 negara dunia. Melalui pembahasannya, Amira memaparkan bagaimana sebuah ideologi dimasukkan ke dalam sebuah film dan secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir orang-orang yang menontonnya, menciptakan sebuah stigma dan penilaian yang mungkin saja tidak  menunjukkan fakta yang sebenarnya. Seperti dalam film tersebut, bagaimana mungkin, seorang jundullah memiliki keberanian berperang dijalan-Nya dengan cara tertinggi –berjihad- namun tidak mengerti esensi jihad dan ajaran Islam itu sendiri. Said dan Khalid dalam film tersebut digambarkan layaknya pemuda “biasa” yang sudah terbawa arus modernisasi. Berpacaran, menyentuh tubuh wanita bahkan masuk-mabukan adalah hal yang biasa bagi mereka. Sifat yang sangat jauh sekali dari seorang pelaku jihad sesungguhnya. Bahkan rasa putus asa yang menjadi alasan mereka untuk melakukan bom bunuh diri. Juga rasa iri atas kemakmuran Israel dan kemiskinan Palestina yang digambarkan begitu nyata dalam film tersebut juga dituding sebagai penyebab mereka melakukan bom bunuh diri. Lebih dari itu, pemuda Palestina yang gagah berani pun di gambarkan sebagai seorang pengecut yang tidak yakin dengan keputusan yang telah mereka ambil. Karena di klimaks film tersebut, diperlihatkan konflik dan keraguan mereka yang pada akhirnya Khalid melarikan diri dan kembali ke Palestina, hanya Said yang melanjutkan perjuangan tersebut dengan membawa bom bunuh diri di tubuhnya ke dalam sebuah bus yang berisikan anak-anak dan wanita. Sudut pandang yang berusaha menggambarkan betapa tidak berprikemanusiaannya pemuda Palestina.
Dalam waktu yang cukup terbatas, 20 menit saja, Amira mencoba menguraikan dan memberikan fakta lain yang ada di Palestina sana. Dari informasi yang didapatkannya dalam buku Palestine Emang Gue Pikirin, secara satu persatu di paparkannya pembataian yang dilakukan pihak Israel terhadap rakyat Palestina, dan teori “kampung halaman” nenek moyang Yahudi yang sangat tidak masuk akal dan tidak selaras dengan hukum Internasional, bantuan dana antiterorisme yang begitu besar dari Amerika Serikat ke Israel dan bagaimana upaya zionisme Internasional membentuk opini masyarakat umum termasuk salah satunya dengan film tersebut.
Hening… tidak ada seorang pun yang memberikan komentar usai presentasi Amira, pun sang professor. Profesor muda itu hanya manggut-manggut dan mempersilahkan mahasiswa lain untuk mempresentasikan outline nya. “Could you come to my office?” ujar sang professor setelah kelas usai. Dengan hati yang sangat berdebar Amira mengikuti Pak Prof menuju ruangannya. “Please sit down…” ujarnya lagi. Amira menghelas nafas dalam namun perlahan dan duduk dengan ekstra hati-hati.
“Presentasi kamu bagus. Tapi… apakah kamu yakin akan menuliskan ini dalam paper akhir nanti?” Amira mengangguk pelan menjawab pertanyaan tersebut. Dan Pak Prof. mulai bercerita panjang lebar mengenai netralitas seorang penulis, bahkan sampai bercerita tentang teman-teman Yahudinya yang baik-baik. “Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan pihak tertentu Pak. Saya hanya ingin fokus pada pembahasan peranan media dalam membentuk opini publik, salah satunya dalam  mengkomunikasikan konflik Israel dan Palestina. Apa yang saya sampaikan juga bukan pra duga saja, namun juga berdasarkan bukti dan fakta valid.” Amira berupaya mempertahankan idenya, dan membayangkan buku Palestine Emang Gue Pikirin !/? ada versi bahasa Inggrisnya, sehingga dia tidak usah bercerita panjang lebar. Cukup memberikan mereka satu orang satu buku dan silahkan menikmati sendiri jendela lain khasanah pengetahuan yang selama ini terselubungi kabut tebal.
Percakapan di ruangan berukuran 3×4 meter itu berakhir tanpa keputusan yang jelas. Secara garis besar, Amira sudah menyadari lampu merah dari professor tersebut untuk melanjutkan tulisan tersebut. Namun secara hati nurani… dia tidak bisa untuk tetap diam dan membiarkan kesalahpahaman terus merajalela. Bagaimanapun, sampaikanlah walau hanya satu ayat…
***
Semester ganjil baru saja berlalu, saatnya melanjutkan perjuangan menuntaskan pendidikan untuk satu setengah tahun ke depan. Dengan gugup, Amira membuka selembar kertas yang di terimanya dari kantor jurusan yang berisikan transkrip nilainya. 70… angka itu terpampang jelas di sebelah nama mata kuliah film yang di ambilnya semester kemarin. Nilai terendah yang berhasil dikoleksinya, nilai yang nyaris saja membuatnya tidak lulus, nilai yang jika tidak ditunjang oleh nilai lainnya akan membuatnya kehilangan beasiswa, satu-satunya sumber aliran NTD[2] penunjang hidupnya. Kecewa, sedih dan bahagia bercampur menjadi satu. Kecewa karena nilainya jelek, sedih karena tulisannya dinilai tidak netral dan bahagia… karena dia telah berani mengambil sebuah keputusan besar. Palestine… emang [Amira] pikirin!

[1] Potongan lirik Maher Zain yang berjudul  Awaken dengan sedikit modifikasi
[2] NTD = New Taiwan Dollar, mata uang Taiwan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangun Peradaban Melelui Mentoring

Orang Asing (Al-Ghurabaa) Dan Nasionalisme

Superheroines (Juara 3 Lomba Esai)